Sunday, June 1, 2014

Galau galau Skripsi

Kalau bicara masalah "galau", bahasa gaul trend masa kini, paling dekat persepsi orang orang terdekat itu masalah hati. Galau katanya  identik dengan persoalan perasaan, persoalan hati, entah itu dengan kekasihnya, atau mungki juga gebetannya. Interpretasi GALAU yah tak jauh jauh dari situlah. Salah satu kosa kata baru yang begitu cepat merambah di kalangan remaja zaman ini. Sebuah pernyataan yang menyuratkan tentang perasaan seseorang yang lagi bingung, bimbang bahkan gelisah tak menentu (*lebaiiii). 

Namun lain cerita, lain kasus dengan apa yang sedang saya alami saat ini. Subtansinya mungkin masih pada ranah perasaan, tapi objeknya saja yang berbeda, bukan lagi manusia. Yah, mungki lewat tulisan ini saya akan menyatakan kalau saya sedang galau, dan saya akan berbagi sedikit cerita tentang itu.

Akhir akhir ini kepala saya sering dipenuhi dengan satu sosok yang sangat menggemaskan. Skripsi namanya, sapaan akrabnya di kampus. Sebuah tugas yang menjadi pertanggung jawaban akhir untuk meraih gelar sarjana di lingkup perguruan tinggi pada tataran Strata Satu (S1). Selama perjalanan menempuh pendidikan di bangku kuliah, yang notabene dari semester 1 sampai pada semester 6. Saya enjoy enjoy dengan benda itu. Saya acuh tak acuh melihat senior senior saya yang mondar mandir ruang dosen seperti yang saya lakukan belakangan ini. 

Saya tak pernah mau ambil pusing dengan itu, toh yang selalu ada di benak saya cuman perkataan "ahh... ada ji nanti teman teman ku bantuka, selesai tonji nanti itu". Tanpa pernah memikirkan apa sebenarnya kesulitan yang ada didalamnya. Satu mata kuliah dengan jumlah kredit 4 SKS, itu saja yang terfikirkan. Selama ini saya enjoy dengan kebiasaan kuliah yang hadir di kelas, mengerjakan tugas dari dosen, ikut UTS dan UAS setelah itu menunggu nilai nya keluar. Dan akhirnya saya baru menyadari klo mindset saya tentang SKRIPSI itu salah. 

Jauh berbeda dengan mata kuliah pada umunya, jumlah tatap mukanya bukan hanya sekali dalam seminggu. Tapi bisa saja setiap hari (senin - jumat) dalam seminggu, dan kerja ekstra di rumah pun butuh waktu dari biasanya. Itu baru permasalahan yang saya hadapi pada perkenalan awal dengan skripsi. Dan permasalahan itu terus bertambah ketika saya melewati tahap awal yaitu seminar proposal, yang menjadi pembuka pintu selamat datang di kesibukan dunia kampus yang sebenar benarnya.

Diawali dengan seminar proposal di akhir bulan april lalu, tepatnya pada tanggal 24 April 2014. Saya berdiri di hadapan belasan dosen mempertanggung jawabkan sebuah rencana awal penelitian saya. Silih berganti dosen dosen tersebut memberikan kritikan dan masukan. Yang sempat membuat saya terduduk kaku. Dan dengan semangat yang besar saya mampu melalui hari itu dan menghadirkan persoalan baru yang tak kalah rumitnya. 

Selepas seminar itu, saya sudah harus mondar mandir di ruangan dosen, meminta persetujuan dan revisi dari proposal saya. Disuruh inilah itulah, sampai akhirnya beban itu menumpuk dan hampir tak bisa saya atasi. Sampai pada hari ini saya masih memutuskan untuk tetap mengacuhkan, sampai saya merasa sudah siapa berhadapan kembali dengan  SKRIPSI  itu !!!!!

*1st June 2014
#Story of A Little Pen

Sunday, February 16, 2014

Sebingkai Mimpi

Terselip sebingkai mimpi dari puing puing sepi...
Mengisi ruang waktu tak tersentuh...
Begitu hebatnya dan tak akan pernah mati...
Selalu hadir dalam bentuk yang utuh...

Karenanya hidup ini akan jadi....
Sepotong demi sepotong cerita abadi...
Bersandar dari kepingan kepingan sepi...
Menggumpal mejadi satu cerita hati....

Dan ketika mulai retak kepingannya...
Hancur menghambur menjadi titik...
Tak satu pun utuh ceritanya...
Hanya sisa batin yang mendera...


*) Makassar, 17th February 2014, Story of A Little Pen

Saturday, February 15, 2014

Lukisan Pelangi




















Selayak Pelangi memuji sang Mentari...
Dari hamburan warna warnanya...
Yang memantul dari titik tiitk hujan...
Memijar membentuk lengkungan....
Memikat peri turun dari istana Nya...

Termenung terhenyak dalam kemilauan...
Lukisan langit yang menawan...
Dari berkas sinaran Matahari....
Menyatu dalam garis selaras warna warni....

Memuji dari sudut terjauh....
Sebagai pengagum KeagunganNya....
Mentitah Langit melukis Pelangi....
Dari hamparan cahaya merah biru jingga...


*) Makassar, 16 February 2014, Story of A Little Pen

Friday, February 14, 2014

Ku Lihat Kembangnya Layu

Ku Lihat Kembangnya Layu...
Di terpa sinar sang mentari...
Pertanda apa kah gerangan ?
Kini tangkainya mengerut....
Daunnya pun berguguran....
Pertanda apakah gerangan ?

Tanahnya tandus mengering ...
Di musim penghujan ?
Apa tidak ada setitik air yang membasahinya ?
Ada apa kah gerangan ?

Wednesday, February 12, 2014

Karena Kamu Memang Indah

Di balik jilbab biru muda
Ada kau selipkan senyum manis disitu
Ketika ku menoleh berpapasan mata denganmu
Ku tangkap sebuah bahasa tubuh nan indah
Terbentuk di lekukan bibir mu yang mungil
Sebuah sapaan tersirat dari wajahmu

Jika boleh ku berucap kala itu
Kan kukatakan kalau senyummu sangat indah
Mungkin juga aku kan meminta
Keindahan itu untuk aku abadikan
Dengan posel yang ku genggam di jemariku
Namun tidak satupun aku lakukan

Bukannya aku enggan
Tapi tak cukup keberanianku
Kekhawatiran saja sudah cukup buatku
Aku tak ingin terlihat buruk
Tidak di depanmu
Di depan teman temanku

Iya, kamu memang mempesona
Dengan sepasang mata kecil
Hidung mancung yang mungil
Dan sepasang bibir manis mu
Menarik pandangan ku
Hanya tertuju didirimu

Ku hanya bisa menikmati itu sekejap
Sampai seutuhnya lenyap dari pandangan ku
Berganti dengan raut wajah mu yang berbeda
Sampai akhirnya ku sadari
Pandangan ku tak ingin berganti
Kamu memang indah…

 *) Makassar, 13th February 2014, Story of A Little Pen




The Only Expectation

Not enough black to write on this white.
To tell all of the happiness and the pain.
When I get more for both of that.
When many people waiting to listen.
And the world is too.

Will never enough words to write it down.
When laugh is became a friend.
And the tire is became an enemy.
Although sometimes.
I know that I need to cry over all.

Many times I to try to learn.
Go deepest between the happiness and the pain.
Then I stopped when I got nothing.

And the only expectation I have.
I don’t have to write it all.

*)Makassar, 13th February 2014, Story of A Little Pen



Sunday, February 9, 2014

Perjalanan Hati ( Perjalanan ke Lembah Ramma’ )

Derai hujan masih terdengar keras, disebuah kamar kost yang tak begitu luas berukuran 3 x 3 m2 kami bertiga duduk bersimpuh menunggu hujan reda. Dengan tiga gelas kopi hangat dan sebungkus rokok menemani kesenduan itu. Hari itu tidak begitu bersahabat, diluar jangkauan dari apa yang sudah kami rencanakan. Sembari menunggu beberapa teman yang lain, kami menikmati hangat nya kopi hitam buatan Cancu. “Ayo main domino”, celetuk seorang teman yang sedari tadi jenuh dengan derain air hujan di luar sana yang menghambat rencana kami. Memang tidak sesuai dengan yang kami harapkan, sekiranya hari ini cuaca Makassar akan cerah dengan terik matahari siang tadi.

Waktu sudah menunjuk pukul tiga sore namun hujan diluar masih tak kunjung reda, masih dengan butiran butirannya yang jatuh bak tumpahan air terjun di tebing terjal. Memang sih Makassar saat ini sedang di landa musim penghujan, dan ini sudah masuk bulan ke tiga. Mengawali tahun 2013 sampai pada pekan terakhir di bulan Januari ini cuaca masih tetap sama. Benar benar di luar perkiraan kami dari tahun sebelumnya, bahwa musim penghujan akan berakhir di awal tahun ini. Hujan yang tiga bulan terakhir ini tak kunjung henti membasahi kota Daeng setelah dirundung kemarau panjang.

Hari ini. Sabtu 29 Januari 2013, sebuah rencana besar yang sudah menjadi kesepakatan menjelang akhir perkuliahan di semester ganjil akan kami lakukan. Sebuah perjalanan menuju lembah asri di bawah kaki gunung Bawakaraeng. Lembah Ramma’ namanya, sebuah lembah yang luas membentang tepat di bawah kaki gunung Bawangkaraeng, dengan hamparan pepohonan hijau, dan sebuah sungai kecil yang jernih membelah lembah tersebut.

Masih asik dengan kopi dan sebatang rokok disela sela jarinya, Cancu kembali berceloteh dengan logat Makassar yang kental,
“Bagemana ki mau maen domino, na tiga orang jiki ini”.
“Kan ada ji kak alul di kamar sebelah,” timpal Rais dengan nada membela.
“Tidak na suka dia maen domino.”
 “Pi meko panggil saja mauji itu”, sanggah Rais masih tetap mempertahankan pendapatnya.
Suasana kamar seketika berubah menjadi riuh, mengalahkan deras nya hujan yang masih awet diluar. Hentakkan hentakkan bunyi domino bercampur tawa cekikikan menambah riuh suasana.

Pukul tiga lewat tiga puluh menit dua orang teman lain yang sedari tadi tunggu akhirnya datang juga, Kak Bayu dan kak Mail. Kak Bayu menenteng sebuah tas ransel berisi perlengkapan hiking. Selain itu dia datang dengan makian kecil mencercah hujan yang ternyata mebuat dirinya basah kuyup. Permain domino kami pun dihentikan, beralih ke kesibukan lain. Mulai mengecek perlengkapan yang akan di bawah satu persatu. Tidak perlu di buat daftar, Kak Bayu dan kak Mail sudah hafal betul apa apa saja benda yang di perlukan dan apa yang paling penting. Masing masing dari kami membongkar semua isi ransel bawaan dan di satukan ke dalam dua buah carier berukuran besar. Isi nya pun dipisah sesusai kebutuhan. Ada carier khusus untuk perlengkapan seperti tenda, kompor, tabung gas, piring dll. Dan ada carier khusus untuk tempat ransum (perbekalan) dan pakain.

“Ini ada satu tabung ndak ada isinya, ada yang bisa pergi dulu isi ulang,” Tanya kak Mail sambil menunjukkan sebuah tabung gas berukuran kecil khusus untuk kompor gas portable.
“Saya pa kak, kebetulan mauka juga pergi beli ransum lagi sama rokok”. Rais dengan sigap menanggapi pertanyaan itu.
“Sama meki paeng bro, mauka juga pergi beli rokok”. Tambahku.
Kami berangkat menerobos hujan yang sudah mulai mereda menuju sebuah tempat yang sudah diberitahukan Kak Mail. Setelah tugas kami selesai, lanjut singgah disebuah mini market membeli barang kebutuhan ku dan Rais.

Rais adalah yang termuda di anggota team kami. Dia adalah seorang mahasiswa Fisika tingkat dua (semester 4). Saya sendiri sudah menginjak tingkat 3 (semester 6) dan kebetulan sekelas dengan cancu. Kak Mail dan kak Bayu setahun lebih tua dari ku mereka berdua sudah masuk semester 8. Dan kami berlima kuliah di jurusan yang sama, FISIKA. Kak Mail dan kak Bayu adalah orang yang sudah cukup berpengalaman dengan trek menuju Lembah Ramma’ yang akan kami jejaki hari ini. Mereka sudah beberapa kali mendatangi tempat itu. Dan hasil dari cerita nya lah yang menginspirasi saya mengikuti jejak petualangan kali ini.

”Ada ji mu dapat”. Tanya kak Mail memastikan,
“Iyye ada ji kak, ndak ada mi lagi yang kurang.” Jawabku penuh semangat.
“Butuh ki rain coat,  jangan sampe nanti masih hujan di perjalan. Ka ndak di tau ini berhenti atau tidak. Tapi nanti pi cari yang murah di jalan, ada ji itu. Istirahat meki dulu. Karna masih deras hujan.”
“Ndag ckup motor ini, ka duaji itu.” Tiba tiba kak Bayu menyela.

Seketika wajah ku langsung berubah muram. Ternyata kami kami belum benar benar siap. Pada kenyataan nya kami masih kekurangan kendaraan. Akses menuju lembah Ramma’ bukanlah jarak yang dekat di tempuh dari Makassar. Butuh waktu sekitar 3 jam berkendara untuk sampai ke Malino, sebuah daerah di dataran tinggi, tempat persinggahan pendaki menitipkan kendaraannya sebelum memulai perjalanan dengan berjalan kaki. Waktu sudah semakin sore, masing masing dari kami sudah terlihat resah, ada yang berusaha menghubungi teman temannya untuk meminjam motor. Sedang aku hanya duduk terpaku.

“Halo, Andi, dimana ki dek ? Masih di Makassar kah ?”, Tiba tiba suara kak Mail terdengar menghubungi seorang teman. “Mauka minta bantuan dek. Mauka ke Malino terus naik di Ramma’, tapi masih kurang motor satu”, kak Mail melanjutkan percakapannya. Seketika kulihat senyum di wajahnya. Pertanda dia sudah menemukan apa yang dia cari.
“Bagimana ji bro?” Tanya kak Bayu pelan.
“Sudah mi saya hubungi Andi, mauji na kasi pinjamki motornya” Jawab kak Mail.
“Ayo mi ke kostnya Andi” tambahnya.
Kami berlima pun segera berangkat. Setelah kami mendapatkan motor, kami meneruskan perjalanan menuju ke Malino. Hari sudah mulai gelap, walau hujan nya mulai reda, kami tetap berhati hati, karena kondisi jalan yang kurang baik apa lagi setelah di guyur hujan deras. Tidak terasa kami sudah meninggalkan Makassar ketika terdengar adzan Isya berkumandang. Sudah masuk di daerah Bili Bili, sebuah daerah yang terkenal dengan bendungan air yang besar. Perjalan kami ini bukanlah perjalanan yang mulus, ada beberapa kendala yang kami hadapi di perjalanan. Salah satunya ketika memasuki Bili Bili,  salah seorang dari kami, mendapat masalah, ban motornya pecah. Dan yang paling sulit, karna jalanan menanjak, sedang bengkel warga sekitar tempat itu masih jauh letaknya.

Setelah beberapa menit cancu memaksa motornya menyusuri jalan menanjak itu, tibalah kami di sebuah bengkel kecil di pinggiran jalan. Segera motor itu diperbaiki oleh si mekanik. Tak lama berselang, motornya pun bagus kembali. Kami melanjutkan perjalanan, saya berboncengan dengan Rais, kak Mail berdua dengan kak Bayu, sedang cancu hanya sendiri. Sebelum perjalanan tadi dimulai, Rais meminta agar dia yang membonceng saya. Ini kali pertama buatnya, jadi dia ingin mencobanya. Saya pun menuruti keinginan anak itu, walau sedikit ragu. Rais memacu kendaraannya dengan kencang mengikuti kak Mail dan kak Bayu yang sedari tadi memimpin perjalanan. Kerisauanku terhadap anak itu semakin bertambah. Dan berakhir pada sebuah tikungan tajam di perjalan, ketika kendaraan kami melaju keluar dari lintasan jalan beraspal menabrak tumpukan tanah.
”Ndak papajiko dek” Tanya ku segera memastikan keadaannya.
“Ndag ji”  Jawab Rais singkat.
“Sini saya pale yang bawa motor, nanti kenapa kenapa ki di jalan kalau mu paksaki” Tanpa ragu Rais pun menuruti permintaan ku.

Kami pun meneruskan perjalanan. Melalui jalan beraspal yang semakin menanjak dan berkelok kelok. Dengan jurang menganga di tepiannya, dan cuaca dingin angin malam areal pegunungan yang semakin menusuk hingga ke tulang. Perjalanan kami terus menanjak hingga mencapai area perkebunan Teh Malino yang terkenal luasnya itu. Setelah melewati itu kami mulai berjalan menurun, memasuki sebuah daerah perkampungan, Lembanna namanya. Letih dan penat memulai terasa di sendi sendi tubuhku. Tapi aku tetap sigap mengikuti kendaraan milik kak Bayu melewati beberapa rumah. Setelah sampai di rumah yang kami tuju, kami pun memarkir kendaraan masing masing.

Tok..tok..tok..
“Assalamualaikum Tata (sapaan akrab kepada orang yang lebih tua)” kak Mail mengucap salam sambil mengetuk pintu rumah Tata Seang. Terdengar suara dari dalam, dan nampaklah tata Seang membukakan pintu rumanya.
Rumah Tata Seang memang sudah menjadi tempat persinggahan kak Bayu dan kak Mail dan pendaki pendaki lainnya yang ingin pergi ke lembah ramma’ atau gunung Bawakaraeng. Hal itu terbukti dengan banyaknya motor yang terpakir di depan rumhnya malam ini.
“Apa kareba tata ? Lama ka lagi baru kesini” Kak Bayu membuka percakapan hangat dengan Tata Seang.
“Baji baji ja, rinni  ko rong mempo mempo ( baik baik saja, mari sini duduk)” Balas tata Seang dengan wajahnya yang sudah terlihat ngantuk. Mereka bertiga melanjutkan percakapannya dengan bahasa asli Makassar yang kebanyakan tidak aku mengerti.

Sesampai dirumah mungil itu, aku masih saja belum beristirahat. Aku masih harus merebus air untuk membuat beberapa cangkir kopi sebangai penghangat tubuh untuk mengurangi dinginnya cuaca Malino. Setelah itu aku menanak nasi dan beberapa bungkus mi. Kak Mail berpesan bahwa kita harus makan yang cukup sebelum memulai perjalanan ini, katanya. Setelah menanak nasi, aku mengecek jam di handphone ku, sudah hampir tengah malam. Baru sadar ternyata perjalanan ke Malino kali ini cukup memakan waktu lama.
”Mari makan tata, di bagi bagi mami, biar sedikit yang penting cukup sampai diatas” Kata Kak Mail sebelum memulai makan malam.

Nasi panas yang baru saja matang itu dalam waktu sekejap habis dari dalam nesting. Bagaimana tidak, sepertinya bukan cuma aku yang membutuhkan makanan hangat. Semua terasa dingin disini, dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Acara makan malam pun selesai. Pring dan perelengkapan lainnya dibersihkan dan di masukkan kembali ke dalam carrier. Kami pun beristirahat sejenak. Sambil berbagi cerita tentang apa yang akan kita lalui nantinya. Memang di antara kami berlima, kak Mail dan kak Bayu sajalah yang sudah memiliki banyak pengalaman mendaki beberapa gunung yang ada di Sulawesi Selatan ini. Sedang aku, rais dan cancu. Ini adalah pendakian perdanaku bersama mereka. Kakak kakak itu berpesan, bahwa yang akan kita jajaki ini berebeda jauh dengan kondisi perkotaan. Kita mutlak berhadapan dengan alam. Tidak ada uang, harta, yang bisa kita manfaatkan selain belajar memahami alam itu sendiri.

“Biar bnyak mu bawa uang disitu, klo ditengah hutan belantara maki, tidak ada juga gunanya. Mau diapakan, rumah sakit jauh, kantor polisi jauh, rumahmu lebih lebih jauh. Cuman beberapa ji yang bisa kita andalkan. Kita kerja sama, saling bantu. Dan berdoa sama Yang Di Atas. Karena Cuma Dia yang bisa selamatkan ki klo terjadi apa apa nanti didalam sana. Jangan pernah takabur, karena alam tidak pernah main main” Pesan kak Mail di tengan tengah perbincangan itu.

Aku menarik nafas panjang, kemudian menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. Rokok di tanganku pun sudah hampir habis. Dan udaranya semakin bertambah dingin saja. Hari sudah masuk pukul satu dini hari. Kami bersiap siap untuk memulai pendakian. Kami berpamitan dengan tata Seang. Dia hanya berpesan agar kami hati hati. Sebelum memasuki trek, kami berdoa bersama, kak Mail yang memimpin doa. Dan setelah itu perjalanan kami dimulai. Kak Mai kembali memimpin, setelahnya ada Rais, disusul kak Bayu, kemudian saya dan Cancu yang terakhir. Kami berjalan pelan menyusuri sawah dan ladang masyarakat sekitar. Setelah beberapa menit, kami sampai di trek hutan pinus yang menanjak. Kondisi jalan sudah mulai berbeda, banyak akar akar pohon besar yang merintangi ditambah tanah becek yang basah karena hujan tadi.

Kami masih terus berjalan, sampai akhirnya Rais kelelahan membawa carier yang dibebankan padanya. Kami berhenti sejenak, kak Bayu menawarkan coklat mini kepada kami.
“Makan sedikit sedikit, untuk mengurangi rasa capek” katanya.
Kali ini saya yang menggendong carier itu. Tentu sangat berbeda saat saya menggendong bodypack tadi. Yah lumayan berat untuk seorang pemula seperti saya. Tanjakan hutan pinus sudah terlewat. Kami memasuki daerah hutan dengan rumput nya yang tinggi. Banyak pohon pohon besar tumbang yang merintangi jalan kami. Kak Mail yang memimpin perjalanan, sibuk memperhatikan tanda jalan. Biasa berbentuk pita atau tali yang diikatkan pada pepohonan atau sema belukar.
“Sepertinya treknya sudah ada yang berubah. Baru ka lagi ini datang ke sini. Sudah satu tahun” Terdengar suara kak Mail yang berusaha menemukan tanda jalan dengan senternya.
Setelah sampai pada sebuah batang besar, Rais kembali berhenti. Hampir bersamaan kami menanyakan pertanyan yang sama.
“Knapai ?” sergah kak Mail.
“Jatuh cincinku, ndag kuliat dimanai jatuh sekitar sini”  jawabnya sedikit gelisah.
“Cincin putih itu, ada batunya warna hitam, seandainya bukan cincin nakasika bapakku, ndak papaji, jangan meki cari” tambah Rais lagi.

Sejenak perjalanan kembali berhenti, kami berusaha menemukan cincin itu. Terlihat wajah Rais yang mulai semakin gelisah. Yang aku tahu cincin itu berarti buat dia, berdasarkan mitos orang sulawesi selatan. Iya pemberian orang tua kepada anaknya apalagi yang pergi merantau seperti kami ini. Terkadang pula ada yang memberikan badik, atau keris. Sebagai penjaga jika ada apa apa di kampung orang. Sepuluh menit berlalu, kami tetap tidak menemukan cincin itu. Rais hanya bisa pasrah dan mengisyaratkan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah jauh menapaki trek dari pekampungan terkhir yang kami singgahi tadi, kami sudah melawati jalan setapak yang menanjak dan menurun. Beberapa sungai kecil dan tanah berlumpur. Di tambah suasan gelap gulita yang membuat pesona magisnya juga ikut bertambah. Kegaiban dari hutan yang diceritakan tadi kini mulai terasa. Beberapa penampakan dengan suara suara melengking yang nyata bukan suara hewan liar mulai terdengar. Saya teringat pesan Kak Mail tadi.
“Kalau ada mu lihat lain lain atau ada suara mu dengar lain lain, biarkan saja. Jangan sampai di tegur. Ini hutan, kita memang tidak perlu takut. Tapi tidak boleh juga takabur. Kita datang kesini, datang baik baik, semoga penjaga hutan ini juga bisa na terima ki baik baik”.

Di perjalanan ini memang hanya suara suara aneh itu yang menemani dan beberapa suara binatang malam. Inilah resiko jalan malam, aku menggerutu dalam hati. Semoga aku masih bisa melihat matahari besok. Kami berhenti disebuah sungai kecil yang airnya cukup deras. Kami membersihkan kaki sejenak dari lumpur dan lintah yang sempat mengambil keuntungan dari darah kami selama perjalanan. Air sungai nya cukup deras namun tinggi nya hanya menghampiri lutut. Kami melintasinya dengan muda. Setelah itu trek didepan kembali menanjak dan sempit, ditambah akar akar pohon nya yang merintangi. Kami berjalan santai menikmati perjalanan meski tak banyak pemandangan alam yang bisa kami nikmati. Selain itu menjaga kondisi tubuh agar tidak kelelahan. Kami berjalan dan sedikit beristirahat jika ada yang mulai lelah. Setelah itu melanjutkannya kembali.

Di sepanjang perjalanan kami terus berusaha untuk saling mengingatkan. Benar saja apa yang dinasehatkan kak Mail tadi, tidak ada yang bisa diandalkan selain terus bekerja sama. Tidak boleh ada yang egois. Satu orang lelah maka semuanya harus berhenti. Tidak mesti memaksakan diri karena takut dianggap lemah. Karena pada dasarnya keegoisan dari ketakutan itulah yang biasa mencelakakan dan menyebabkan banyak orang yang gagal mendaki gunung.

Pukul lima pagi lewat sedikit, kami sudah sampai di Talung. Masih blum terlihat jelas apa apa yang ada didepan ku karena tertutupi kabut tebal. Begitu matahari pagi menyongsong, kabut itu berangsur angsur menghilang. Tanah datar ditalung itu cukup luas. Kami beristirahat sejenak disana, melepas lelah. Namun disekelilingnya jurang terjal dan tepat di bawah kaki jurang itu, nampak sebuah lembah hijau mirip lembah telettubies dengan sebuah sungai kecil membelah di tengahnya. Nampak sangat indah dari atas sini. Dari atas sini kami juga bisa melihat anak anak sungai beberapa ratuis meter dari lembah itu, dan sebuah danau kecil. Konon katanya danau itu angker. Memang terlihat jelas dari atas sini. Tetapi jika menelusuri dan mencarinya, terkadan sangat sulit ditemukan.

Saya segera mengambil beberapa gambar dengan kamera handphone ku. Memang kami tidak membawa kamera DSLR, selain kondisinya tidak memungkinkan. Diantara kami pun tidak ada yang memiliki kamera mahal itu. Satu lagi benda magis yang nampak ketika memasuki Talung. Dan sempat membuat bulu kuduk ku merinding seketika. Di atas tanah datar itu terdapat sebuah kuburan seorang pendaki bertuliskan “Rammang” di nisannya. Konon dia adalah seorang pendaki yang hilang ketika menjajaki perjalanan menuju Gunung Bawakaraeng, namun tak pernah ditemukan mayatnya. Teman temannya hanya menemukan carriernya dan setelah berminggu minggu dicari  dan tak kunjung ditemukan barulah dibuat kan sebuah makam diatas tanah Talung.

“Mantap disini bro, foto ka dulu sama Cancu” pinta Rais kepadaku.
Saya, Cancu dan Rais tidak sedikit pun melewatkan kesempatan langkah itu. Kami asik berfoto mengabadikan pemandangan menakjubkan dari atas Talung. Sementara itu kak Mail menyiapkan kompor untuk merebus air untuk membuat kopi. Setelah puas dengan berfoto kami bergegas menyerbu kopi buatan kak Mail. Setelah itu myempatkan diri untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Beberapa menit setelah matahari meninggi, kami kembali berjalan menapaki jurang terjal untuk sampai kelembah Ramma’. Dengan sangat hati hati kami melewati jalan setapak dengan tanahnya yang berlumpur itu. Kami sempat beberapa kali berhenti untuk berfoto. Memang tak afdol kalau perjalanan ini hanya sedikit yang didokumentasikan. Tak lama kemudian sampailah kami di lembah nan hijau itu. Lembah yang dikelilingi anak anak pegunungan dengan pohonnya yang menjulang tinggi. Dari celahnya mengalir air jernih yang menyilaukan ketika dipandang. Lembah hijau dengan sungai kecil yang membelah lembah itu tepat ditengah tengah. Sungguh tak cukup kata kata indah mendeskripsikan keindahan ini. Aku bergumam sendiri memuji keindahan Maha Karya Tuhan Yang Maha Kuasa ini.

Tuhan, ini hanyalah sebagian kecil dari apa Yang Engkau Ciptakan. Merugilah aku yang terkadang lupa bersyukur dari apa yang Engkau berikan ya Allah. Karena kuasa Mu aku disini. Karena kehendak Mu aku bisa menikmati rezeki yang Engkau turunkan ke bumi ini. Maha Suci Engkau ya Allah dari seluruh Zat yang ada dimuka bumi ini.

Tak henti henti aku mengagumi apa yang tampak di depan mataku kali ini. Sungguh luar biasa indahnya. Begitu tenang, tentram membuat perasanku seketika terlepas dari beban beban permasalahan yang kubawa selama ini. Memang benar apa yang dikatakan banyak orang, Alam adalah tempat yang paling tepat untuk berdialog. Berbagi cerita, menumpahkan semua rasa suka dan duka kita. Karena Alam jauh berbeda dengan kita, dia tidak pernah mengkritik balik bahkan mencerca apa yang kita sampaikan. Dia hanya terus terdiam menjadi pendengar yang baik. Sampai luapan luapan persaan itu habis kita tumpahkan padanya.

Perjalanan ini bukan untuk bersenang senang. Lebih kepada memaknai dari apa yang aku dapatkan disepanjang perjalanan ini. Perjalanan ini bukan lah sesuatu yang ingin aku banggakan. Melainkan untuk membagikan beberapa alasan kita harus Memuji Keagungan ALLAH. Karena alam adalah ciptaan Nya yang nyata yang tak bisa kita ciptakan. Lewat hati ini, lewat mata dan kaki ini saya belajar dari tempat saya berpijak hingga berjalan jauh lebih tinggi menyaksikan apa yang dikehendaki Nya.

"Jagalah Alam, maka dia akan menjagamu. Peliharalah dia, maka  dia akan mencukupkan mu. Benih apa yang kita taburkan      padanya, maka itulah yang akan kita semai. Jangan sekali kali  kamu merusaknya, karena balasannya bisa lebih buruk dari apa  yang kamu bayangkan".









*)Makassar, Sunday 9th February 2014
  | Story of A Little Pen