Derai
hujan masih terdengar keras, disebuah kamar kost
yang tak begitu luas berukuran 3 x 3 m2 kami bertiga duduk bersimpuh
menunggu hujan reda. Dengan tiga gelas kopi hangat dan sebungkus rokok
menemani kesenduan itu. Hari itu tidak begitu bersahabat, diluar jangkauan dari
apa yang sudah kami rencanakan. Sembari menunggu beberapa teman yang lain, kami
menikmati hangat nya kopi hitam buatan Cancu. “Ayo main domino”, celetuk seorang teman yang sedari tadi
jenuh dengan derain air hujan di luar sana yang menghambat rencana kami. Memang
tidak sesuai dengan yang kami harapkan, sekiranya hari ini cuaca Makassar akan
cerah dengan terik matahari siang tadi.
Waktu sudah menunjuk pukul tiga sore namun hujan diluar masih tak kunjung reda, masih dengan
butiran butirannya yang jatuh bak tumpahan air terjun di
tebing terjal. Memang sih Makassar
saat ini sedang di landa musim penghujan, dan ini sudah masuk bulan ke tiga.
Mengawali tahun 2013 sampai pada pekan terakhir di bulan Januari ini cuaca
masih tetap sama. Benar benar di luar perkiraan kami dari tahun sebelumnya,
bahwa musim penghujan akan berakhir di awal tahun ini. Hujan yang tiga bulan
terakhir ini tak kunjung henti membasahi kota Daeng setelah dirundung kemarau panjang.
Hari ini. Sabtu 29 Januari 2013, sebuah
rencana besar yang sudah menjadi kesepakatan menjelang akhir perkuliahan di
semester ganjil akan kami lakukan. Sebuah perjalanan menuju lembah asri di
bawah kaki gunung Bawakaraeng. Lembah
Ramma’ namanya, sebuah lembah yang
luas membentang tepat di bawah kaki gunung Bawangkaraeng,
dengan hamparan pepohonan hijau, dan sebuah sungai kecil yang jernih membelah
lembah tersebut.
Masih asik dengan kopi dan sebatang rokok disela sela jarinya, Cancu
kembali berceloteh dengan logat
Makassar yang kental,
“Bagemana
ki mau maen domino, na tiga orang jiki ini”.
“Kan ada
ji kak alul di kamar sebelah,” timpal Rais dengan nada membela.
“Tidak na
suka dia maen domino.”
“Pi meko panggil saja mauji itu”, sanggah Rais masih
tetap mempertahankan pendapatnya.
Suasana kamar seketika berubah menjadi
riuh, mengalahkan deras nya hujan yang masih awet diluar. Hentakkan hentakkan
bunyi domino bercampur tawa cekikikan menambah riuh suasana.
Pukul tiga lewat tiga puluh menit dua orang teman lain yang sedari tadi tunggu akhirnya datang
juga, Kak Bayu dan kak Mail. Kak Bayu menenteng sebuah tas
ransel berisi perlengkapan hiking.
Selain itu dia datang dengan makian kecil mencercah hujan yang ternyata mebuat
dirinya basah kuyup. Permain domino
kami pun dihentikan, beralih ke kesibukan lain. Mulai mengecek perlengkapan
yang akan di bawah satu persatu. Tidak perlu di buat daftar, Kak Bayu dan kak
Mail sudah hafal betul apa apa saja benda yang di perlukan dan apa yang paling
penting. Masing masing dari kami membongkar semua isi ransel bawaan dan di
satukan ke dalam dua buah carier
berukuran besar. Isi nya pun dipisah sesusai kebutuhan. Ada carier khusus untuk perlengkapan seperti
tenda, kompor, tabung gas, piring dll. Dan ada carier khusus untuk tempat ransum (perbekalan) dan pakain.
“Ini ada satu
tabung ndak ada isinya, ada yang bisa pergi dulu isi ulang,” Tanya kak Mail sambil menunjukkan
sebuah tabung gas berukuran kecil khusus untuk kompor gas portable.
“Saya pa
kak, kebetulan mauka juga pergi beli ransum lagi sama rokok”. Rais dengan sigap menanggapi pertanyaan
itu.
“Sama meki
paeng bro, mauka juga pergi beli rokok”. Tambahku.
Kami berangkat menerobos hujan yang
sudah mulai mereda menuju sebuah tempat yang sudah diberitahukan Kak Mail.
Setelah tugas kami selesai, lanjut singgah disebuah mini market membeli barang
kebutuhan ku dan Rais.
Rais adalah yang termuda di anggota team
kami. Dia adalah seorang mahasiswa Fisika tingkat dua (semester 4). Saya
sendiri sudah menginjak tingkat 3 (semester 6) dan kebetulan sekelas dengan
cancu. Kak Mail dan kak Bayu setahun lebih tua dari ku mereka berdua sudah
masuk semester 8. Dan kami berlima kuliah di jurusan yang sama,
FISIKA. Kak Mail dan kak Bayu adalah orang yang sudah cukup berpengalaman
dengan trek menuju Lembah Ramma’ yang akan kami jejaki hari ini. Mereka sudah
beberapa kali mendatangi tempat itu. Dan hasil dari cerita nya lah yang
menginspirasi saya mengikuti jejak petualangan kali ini.
”Ada ji mu
dapat”.
Tanya kak Mail memastikan,
“Iyye ada
ji kak, ndak ada mi lagi yang kurang.” Jawabku penuh semangat.
“Butuh ki
rain coat, jangan sampe nanti masih
hujan di perjalan. Ka ndak di tau ini berhenti atau tidak. Tapi nanti pi cari
yang murah di jalan, ada ji itu. Istirahat meki dulu. Karna masih deras hujan.”
“Ndag ckup
motor ini, ka duaji itu.” Tiba tiba kak Bayu menyela.
Seketika wajah ku langsung berubah muram.
Ternyata kami kami belum benar benar siap. Pada kenyataan nya kami masih
kekurangan kendaraan. Akses menuju lembah Ramma’ bukanlah jarak yang dekat di
tempuh dari Makassar. Butuh waktu sekitar 3 jam berkendara untuk sampai ke Malino, sebuah
daerah di dataran tinggi, tempat persinggahan pendaki menitipkan kendaraannya
sebelum memulai perjalanan dengan berjalan kaki. Waktu sudah semakin sore,
masing masing dari kami sudah terlihat resah, ada yang berusaha menghubungi
teman temannya untuk meminjam motor. Sedang aku hanya duduk terpaku.
“Halo,
Andi, dimana ki dek ? Masih di Makassar kah ?”,
Tiba tiba suara kak Mail terdengar menghubungi seorang teman. “Mauka minta bantuan dek. Mauka ke Malino
terus naik di Ramma’, tapi masih kurang motor satu”, kak Mail melanjutkan percakapannya. Seketika
kulihat senyum di wajahnya. Pertanda dia sudah menemukan apa yang dia cari.
“Bagimana
ji bro?”
Tanya kak Bayu pelan.
“Sudah mi
saya hubungi Andi, mauji na kasi pinjamki motornya” Jawab kak Mail.
“Ayo mi ke
kostnya Andi”
tambahnya.
Kami berlima pun segera berangkat.
Setelah kami mendapatkan motor, kami meneruskan perjalanan menuju ke Malino.
Hari sudah mulai gelap, walau hujan nya mulai reda, kami tetap berhati hati,
karena kondisi jalan yang kurang baik apa lagi setelah di guyur hujan deras.
Tidak terasa kami sudah meninggalkan Makassar ketika terdengar adzan Isya
berkumandang. Sudah masuk di daerah Bili
Bili, sebuah daerah yang terkenal dengan bendungan air yang besar. Perjalan
kami ini bukanlah perjalanan yang mulus, ada beberapa kendala yang kami hadapi
di perjalanan. Salah satunya ketika memasuki Bili Bili, salah seorang dari kami, mendapat masalah,
ban motornya pecah. Dan yang paling sulit, karna jalanan menanjak, sedang
bengkel warga sekitar tempat itu masih jauh letaknya.
Setelah beberapa menit cancu memaksa
motornya menyusuri jalan menanjak itu, tibalah kami di sebuah bengkel kecil
di pinggiran jalan. Segera motor itu diperbaiki oleh si mekanik. Tak lama berselang, motornya pun bagus kembali. Kami
melanjutkan perjalanan, saya berboncengan dengan Rais, kak Mail berdua dengan
kak Bayu, sedang cancu hanya sendiri. Sebelum perjalanan tadi
dimulai, Rais meminta agar dia yang membonceng saya. Ini kali pertama buatnya,
jadi dia ingin mencobanya. Saya pun menuruti keinginan anak itu, walau sedikit
ragu. Rais memacu kendaraannya dengan kencang mengikuti
kak Mail dan kak Bayu yang sedari tadi memimpin perjalanan. Kerisauanku
terhadap anak itu semakin bertambah. Dan berakhir pada sebuah tikungan tajam di
perjalan, ketika kendaraan kami melaju keluar dari lintasan jalan beraspal
menabrak tumpukan tanah.
”Ndak
papajiko dek” Tanya
ku segera memastikan keadaannya.
“Ndag ji” Jawab Rais singkat.
“Sini saya
pale yang bawa motor, nanti kenapa kenapa ki di jalan kalau mu paksaki” Tanpa ragu Rais pun menuruti permintaan
ku.
Kami pun meneruskan perjalanan. Melalui
jalan beraspal yang semakin menanjak dan berkelok kelok. Dengan jurang menganga
di tepiannya, dan cuaca dingin angin malam areal pegunungan yang semakin
menusuk hingga ke tulang. Perjalanan kami terus menanjak hingga mencapai area
perkebunan Teh Malino yang terkenal luasnya itu. Setelah melewati itu kami
mulai berjalan menurun, memasuki sebuah daerah perkampungan, Lembanna namanya. Letih dan penat
memulai terasa di sendi sendi tubuhku. Tapi aku tetap sigap mengikuti kendaraan
milik kak Bayu melewati beberapa rumah. Setelah sampai di rumah yang kami tuju,
kami pun memarkir kendaraan masing masing.
Tok..tok..tok..
“Assalamualaikum
Tata (sapaan akrab kepada orang yang lebih tua)” kak Mail mengucap salam sambil mengetuk
pintu rumah Tata Seang. Terdengar suara dari dalam, dan nampaklah tata Seang
membukakan pintu rumanya.
Rumah Tata Seang memang sudah menjadi
tempat persinggahan kak Bayu dan kak Mail dan pendaki pendaki lainnya yang ingin
pergi ke lembah ramma’ atau gunung Bawakaraeng. Hal itu terbukti dengan
banyaknya motor yang terpakir di depan rumhnya malam ini.
“Apa
kareba tata ? Lama ka lagi baru kesini” Kak Bayu membuka percakapan hangat
dengan Tata Seang.
“Baji baji
ja, rinni ko rong mempo mempo ( baik
baik saja, mari sini duduk)” Balas tata Seang dengan wajahnya yang sudah terlihat
ngantuk. Mereka bertiga melanjutkan percakapannya dengan bahasa asli Makassar
yang kebanyakan tidak aku mengerti.
Sesampai dirumah mungil itu, aku masih
saja belum beristirahat. Aku masih harus merebus air untuk membuat beberapa
cangkir kopi sebangai penghangat tubuh untuk mengurangi dinginnya cuaca Malino. Setelah itu aku menanak nasi dan beberapa bungkus mi. Kak Mail berpesan bahwa kita harus
makan yang cukup sebelum memulai perjalanan ini, katanya. Setelah menanak nasi,
aku mengecek jam di handphone ku,
sudah hampir tengah malam. Baru sadar ternyata perjalanan ke Malino kali ini
cukup memakan waktu lama.
”Mari
makan tata, di bagi bagi mami, biar sedikit yang penting cukup sampai diatas” Kata Kak Mail sebelum memulai makan
malam.
Nasi panas yang baru saja matang itu
dalam waktu sekejap habis dari dalam nesting.
Bagaimana tidak, sepertinya bukan cuma aku yang membutuhkan makanan hangat.
Semua terasa dingin disini, dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Acara makan malam pun selesai. Pring dan perelengkapan
lainnya dibersihkan dan di masukkan kembali ke dalam carrier. Kami pun
beristirahat sejenak. Sambil berbagi cerita tentang apa yang akan kita lalui
nantinya. Memang di antara kami berlima, kak Mail dan kak Bayu sajalah yang
sudah memiliki banyak pengalaman mendaki beberapa gunung yang ada di Sulawesi
Selatan ini. Sedang aku, rais dan cancu. Ini adalah pendakian perdanaku bersama
mereka. Kakak kakak itu berpesan, bahwa yang akan kita jajaki ini berebeda jauh
dengan kondisi perkotaan. Kita mutlak berhadapan dengan alam. Tidak ada uang,
harta, yang bisa kita manfaatkan selain belajar memahami alam itu sendiri.
“Biar bnyak mu bawa uang disitu, klo
ditengah hutan belantara maki, tidak ada juga gunanya. Mau diapakan, rumah
sakit jauh, kantor polisi jauh, rumahmu lebih lebih jauh. Cuman beberapa ji
yang bisa kita andalkan. Kita kerja sama, saling bantu. Dan berdoa sama Yang Di
Atas. Karena Cuma Dia yang bisa selamatkan ki klo terjadi apa apa nanti didalam
sana. Jangan pernah takabur, karena alam tidak pernah main main” Pesan kak Mail di tengan tengah perbincangan itu.
Aku
menarik nafas panjang, kemudian menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. Rokok
di tanganku pun sudah hampir habis. Dan udaranya semakin bertambah dingin saja.
Hari sudah masuk pukul satu dini hari. Kami bersiap siap untuk memulai
pendakian. Kami berpamitan dengan tata Seang. Dia hanya berpesan agar kami hati
hati. Sebelum memasuki trek, kami berdoa bersama, kak Mail yang memimpin doa.
Dan setelah itu perjalanan kami dimulai. Kak Mai kembali memimpin, setelahnya
ada Rais, disusul kak Bayu, kemudian saya dan Cancu yang terakhir. Kami
berjalan pelan menyusuri sawah dan ladang masyarakat sekitar. Setelah beberapa
menit, kami sampai di trek hutan pinus yang menanjak. Kondisi jalan sudah mulai
berbeda, banyak akar akar pohon besar yang merintangi ditambah tanah becek yang
basah karena hujan tadi.
Kami
masih terus berjalan, sampai akhirnya Rais kelelahan membawa carier yang dibebankan
padanya. Kami berhenti sejenak, kak Bayu menawarkan coklat mini kepada kami.
“Makan sedikit sedikit, untuk mengurangi
rasa capek” katanya.
Kali
ini saya yang menggendong carier itu. Tentu sangat berbeda saat saya
menggendong bodypack tadi. Yah lumayan berat untuk seorang pemula seperti saya.
Tanjakan hutan pinus sudah terlewat. Kami memasuki daerah hutan dengan rumput
nya yang tinggi. Banyak pohon pohon besar tumbang yang merintangi jalan kami.
Kak Mail yang memimpin perjalanan, sibuk memperhatikan tanda jalan. Biasa
berbentuk pita atau tali yang diikatkan pada pepohonan atau sema belukar.
“Sepertinya treknya sudah ada yang berubah.
Baru ka lagi ini datang ke sini. Sudah satu tahun” Terdengar suara kak Mail yang berusaha menemukan tanda jalan
dengan senternya.
Setelah
sampai pada sebuah batang besar, Rais kembali berhenti. Hampir bersamaan kami
menanyakan pertanyan yang sama.
“Knapai ?” sergah kak Mail.
“Jatuh cincinku, ndag kuliat dimanai jatuh
sekitar sini” jawabnya sedikit gelisah.
“Cincin putih itu, ada batunya warna hitam,
seandainya bukan cincin nakasika bapakku, ndak papaji, jangan meki cari” tambah Rais lagi.
Sejenak
perjalanan kembali berhenti, kami berusaha menemukan cincin itu. Terlihat wajah
Rais yang mulai semakin gelisah. Yang aku tahu cincin itu berarti buat dia,
berdasarkan mitos orang sulawesi selatan. Iya pemberian orang tua kepada
anaknya apalagi yang pergi merantau seperti kami ini. Terkadang pula ada yang
memberikan badik, atau keris. Sebagai penjaga jika ada apa apa di kampung orang.
Sepuluh menit berlalu, kami tetap tidak menemukan cincin itu. Rais hanya bisa
pasrah dan mengisyaratkan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah
jauh menapaki trek dari pekampungan terkhir yang kami singgahi tadi, kami sudah
melawati jalan setapak yang menanjak dan menurun. Beberapa sungai kecil dan
tanah berlumpur. Di tambah suasan gelap gulita yang membuat pesona magisnya
juga ikut bertambah. Kegaiban dari hutan yang diceritakan tadi kini mulai
terasa. Beberapa penampakan dengan suara suara melengking yang nyata bukan suara
hewan liar mulai terdengar. Saya teringat pesan Kak Mail tadi.
“Kalau ada mu lihat lain lain atau ada
suara mu dengar lain lain, biarkan saja. Jangan sampai di tegur. Ini hutan,
kita memang tidak perlu takut. Tapi tidak boleh juga takabur. Kita datang
kesini, datang baik baik, semoga penjaga hutan ini juga bisa na terima ki baik
baik”.
Di
perjalanan ini memang hanya suara suara aneh itu yang menemani dan beberapa
suara binatang malam. Inilah resiko jalan
malam, aku menggerutu dalam hati. Semoga
aku masih bisa melihat matahari besok. Kami berhenti disebuah sungai kecil
yang airnya cukup deras. Kami membersihkan kaki sejenak dari lumpur dan lintah
yang sempat mengambil keuntungan dari darah kami selama perjalanan. Air sungai
nya cukup deras namun tinggi nya hanya menghampiri lutut. Kami melintasinya
dengan muda. Setelah itu trek didepan kembali menanjak dan sempit, ditambah
akar akar pohon nya yang merintangi. Kami berjalan santai menikmati perjalanan
meski tak banyak pemandangan alam yang bisa kami nikmati. Selain itu menjaga
kondisi tubuh agar tidak kelelahan. Kami berjalan dan sedikit beristirahat jika
ada yang mulai lelah. Setelah itu melanjutkannya kembali.
Di
sepanjang perjalanan kami terus berusaha untuk saling mengingatkan. Benar saja apa
yang dinasehatkan kak Mail tadi, tidak ada yang bisa diandalkan selain terus
bekerja sama. Tidak boleh ada yang egois.
Satu orang lelah maka semuanya harus
berhenti. Tidak mesti memaksakan diri karena takut dianggap lemah. Karena pada
dasarnya keegoisan dari ketakutan itulah yang biasa mencelakakan dan
menyebabkan banyak orang yang gagal mendaki gunung.
Pukul
lima pagi lewat sedikit, kami sudah sampai di Talung. Masih blum terlihat jelas apa apa yang ada didepan ku
karena tertutupi kabut tebal. Begitu matahari pagi menyongsong, kabut itu
berangsur angsur menghilang. Tanah datar ditalung itu cukup luas. Kami
beristirahat sejenak disana, melepas lelah. Namun disekelilingnya jurang terjal
dan tepat di bawah kaki jurang itu, nampak sebuah lembah hijau mirip lembah telettubies dengan sebuah sungai kecil
membelah di tengahnya. Nampak sangat indah dari atas sini. Dari atas sini kami
juga bisa melihat anak anak sungai beberapa ratuis meter dari lembah itu, dan
sebuah danau kecil. Konon katanya danau itu angker. Memang terlihat jelas dari
atas sini. Tetapi jika menelusuri dan mencarinya, terkadan sangat sulit
ditemukan.
Saya
segera mengambil beberapa gambar dengan kamera handphone ku. Memang kami tidak
membawa kamera DSLR, selain kondisinya tidak memungkinkan. Diantara kami pun
tidak ada yang memiliki kamera mahal itu. Satu lagi benda magis yang nampak
ketika memasuki Talung. Dan sempat membuat bulu kuduk ku merinding seketika. Di
atas tanah datar itu terdapat sebuah kuburan seorang pendaki bertuliskan
“Rammang” di nisannya. Konon dia adalah seorang pendaki yang hilang ketika
menjajaki perjalanan menuju Gunung Bawakaraeng, namun tak pernah ditemukan
mayatnya. Teman temannya hanya menemukan carriernya dan setelah berminggu
minggu dicari dan tak kunjung ditemukan
barulah dibuat kan sebuah makam diatas tanah Talung.
“Mantap disini bro, foto ka dulu sama
Cancu” pinta Rais kepadaku.
Saya,
Cancu dan Rais tidak sedikit pun melewatkan kesempatan langkah itu. Kami asik
berfoto mengabadikan pemandangan menakjubkan dari atas Talung. Sementara itu
kak Mail menyiapkan kompor untuk merebus air untuk membuat kopi. Setelah puas
dengan berfoto kami bergegas menyerbu kopi buatan kak Mail. Setelah itu
myempatkan diri untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Beberapa
menit setelah matahari meninggi, kami kembali berjalan menapaki jurang terjal
untuk sampai kelembah Ramma’. Dengan sangat hati hati kami melewati jalan
setapak dengan tanahnya yang berlumpur itu. Kami sempat beberapa kali berhenti
untuk berfoto. Memang tak afdol kalau perjalanan ini hanya sedikit yang
didokumentasikan. Tak lama kemudian sampailah kami di lembah nan hijau itu.
Lembah yang dikelilingi anak anak pegunungan dengan pohonnya yang menjulang
tinggi. Dari celahnya mengalir air jernih yang menyilaukan ketika dipandang.
Lembah hijau dengan sungai kecil yang membelah lembah itu tepat ditengah
tengah. Sungguh tak cukup kata kata indah mendeskripsikan keindahan ini. Aku
bergumam sendiri memuji keindahan Maha Karya Tuhan Yang Maha Kuasa ini.
Tuhan, ini hanyalah sebagian kecil dari apa
Yang Engkau Ciptakan. Merugilah aku yang terkadang lupa bersyukur dari apa yang
Engkau berikan ya Allah. Karena kuasa Mu aku disini. Karena kehendak Mu aku
bisa menikmati rezeki yang Engkau turunkan ke bumi ini. Maha Suci Engkau ya
Allah dari seluruh Zat yang ada dimuka bumi ini.
Tak henti henti aku mengagumi apa yang
tampak di depan mataku kali ini. Sungguh luar biasa indahnya. Begitu tenang,
tentram membuat perasanku seketika terlepas dari beban beban permasalahan yang
kubawa selama ini. Memang benar apa yang dikatakan banyak orang, Alam adalah
tempat yang paling tepat untuk berdialog. Berbagi cerita, menumpahkan semua
rasa suka dan duka kita. Karena Alam jauh berbeda dengan kita, dia tidak pernah
mengkritik balik bahkan mencerca apa yang kita sampaikan. Dia hanya terus
terdiam menjadi pendengar yang baik. Sampai luapan luapan persaan itu habis
kita tumpahkan padanya.
Perjalanan ini bukan untuk bersenang
senang. Lebih kepada memaknai dari apa yang aku dapatkan disepanjang perjalanan
ini. Perjalanan ini bukan lah sesuatu yang ingin aku banggakan. Melainkan untuk
membagikan beberapa alasan kita harus Memuji Keagungan ALLAH. Karena alam
adalah ciptaan Nya yang nyata yang tak bisa kita ciptakan. Lewat hati ini, lewat
mata dan kaki ini saya belajar dari tempat saya berpijak hingga berjalan jauh
lebih tinggi menyaksikan apa yang dikehendaki Nya.
"Jagalah Alam, maka dia akan menjagamu. Peliharalah dia, maka dia akan mencukupkan mu. Benih apa yang kita taburkan padanya, maka itulah yang akan kita semai. Jangan sekali kali kamu merusaknya, karena balasannya bisa lebih buruk dari apa yang kamu bayangkan".
*)Makassar, Sunday 9th February 2014
| Story of A Little Pen